1. Apa itu Islam liberal?
Islam Liberal adalah suatu bentuk penafsiran tertentu atas Islam dengan landasan sebagai berikut:
a. Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam.
Islam Liberal percaya bahwa ijtihad atau pemikiran rasional atas teks-teks keislaman adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus boleh bertahan dalam segala keadaan. Penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas atau secara keseluruhan, adalah ancaman atas Islam itu sendiri, sebab dengan demikian Islam akan mengalami kerosakan. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad boleh diselenggarakan dalam semua segi, baik segi muamalat (interaksi sosial), ubudiyyat (ritual), dan ilahiyyat (teologi).
b. Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks.
Ijtihad yang dikembangkan oleh Islam Liberal adalah upaya menafsirkan Islam berdasarkan semangat religio-etik Qur’an dan Sunnah Nabi, bukan menafsirkan Islam semata-mata berdasarkan makna literal sebuah teks. Penafsiran yang literal hanya akan melumpuhkan Islam. Dengan penafsiran yang berdasarkan semangat religio-etik, Islam akan hidup dan berkembang secara kreatif menjadi bagian dari peradaban kemanusiaan universal.
c. Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural.
Islam Liberal mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran (dalam penafsiran keagamaan) sebagai sesuatu yang relatif, sebab sebuah penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang terikat oleh konteks tertentu; terbuka, sebab setiap bentuk penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan benar; plural, sebab penafsiran keagamaan, dalam satu dan lain cara, adalah cerminan dari keperluan seorang penafsir di suatu masa dan ruang yang terus berubah-ubah.
d. Memihak pada yang minoritas dan tertindas.
Islam Liberal berpijak pada penafsiran Islam yang memihak kepada kaum minoritas yang tertindas dan dipinggirkan. Setiap struktur sosial-politik yang mengawetkan praktek ketidakadilan atas yang minoritas adalah berlawanan dengan semangat Islam. Minoritas di sini dipahami dalam maknanya yang luas, mencakup minoritas agama, etnik, puak, gender, budaya, politik, dan ekonomi.
e. Meyakini kebebasan beragama.
Islam Liberal meyakini bahwa urusan beragama dan tidak beragama adalah hak individu yang harus dihargai dan dilindungi. Islam Liberal tidak membenarkan penganiayaan (persekusi) atas dasar suatu pendapat atau kepercayaan.
f. Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.
Islam Liberal yakin bahwa kekuasaan keagamaan dan politik harus dipisahkan. Islam Liberal menentang negara berasas agama (teokrasi). Islam Liberal yakin bahwa bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah negara yang memisahkan kedua perkara tersebut. Agama adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama tidak punya hak suci untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik. Agama berada di ruang peribadi, dan urusan publik harus diselenggarakan melalui proses kesepakatan bersama.
2. Mengapa disebut Islam Liberal?
Nama “Islam liberal” menggambarkan prinsip-prinsip yang kami anut, yaitu Islam yang menekankan kebebasan peribadi dan pembebasan dari struktur sosial-politik yang menindas. “Liberal” di sini bermakna dua:
kebebasan dan pembebasan. Kami percaya bahwa Islam selalu dilekati kata sifat, sebab pada kenyataannya Islam ditafsirkan secara berbeda-beda sesuai dengan keperluan penafsirnya. Kami memilih satu jenis tafsir, dan dengan demikian satu kata sifat terhadap Islam, yaitu “liberal”. Untuk mewujudkan Islam Liberal, kami membentuk Jaringan Islam Liberal (JIL).
3. Mengapa Jaringan Islam Liberal?
Tujuan utama kami adalah menyebarkan gagasan Islam Liberal seluas-luasnya kepada masyarakat. Untuk itu kami memilih bentuk jaringan, bukan organisasi kemasyarakatan, maupun partai politik. JIL adalah wadah yang longgar untuk siapapun yang memiliki aspirasi dan kepedulian terhadap gagasan Islam Liberal.
4. Apa misi JIL?
Pertama, mengembangkan penafsiran Islam yang liberal sesuai dengan prinsip-prinsip yang kami anut, serta menyebarkannya kepada seluas mungkin khalayak.
Kedua, mengusahakan terbukanya ruang dialog yang bebas dari tekanan konservatisme. Kami yakin, terbukanya ruang dialog akan memekarkan pemikiran dan gerakan Islam yang sehat.
Ketiga, mengupayakan terciptanya struktur sosial dan politik yang adil dan manusiawi.
Ulil Abshar Abdalla -
Lahir di Pati, Jawa Tengah, 11 Januari 1967 adalah seorang tokoh Islam di Indonesia. Ulil berasal dari keluarga Nahdatul Ulama. Ayahnya Abdullah Rifa'i dari pondok Mansajul Ulum, Pati, sedang mertuanya, Mustofa Bisri, tuan guru dari pondok Raudatut Talibin, Rembang.
Ulil menyelesaikan pendidikan menengahnya di Madrasah Mathali'ul Falah, Kajen, Pati, Jawa Tengah yang diasuh oleh KH. M. Ahmad Sahal Mahfudz (wakil Rois Am Pertubuhan Nahdatul Ulama’ pada 1994‑1999). Pernah belajar di pondok Mansajul 'Ulum, Cebolek, Kajen, Pati, serta Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang. Dia mendapat gelar Sarjananya di Fakultas Syari'ah LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) Jakarta, dan pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Mengambil program doktoral di Universitas Boston, Massachussetts, AS.
Ulil pernah menjadi Ketua Lakpesdam (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Maya Manusia) Nahdlatul Ulama, Jakarta, sekaligus juga menjadi staf peneliti di Institut Studi Arus Informasi (ISAI), Jakarta, serta Direktur Program Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP). Ia dikenal karena aktivitasnya sebagai Koordinator Jaringan Islam Liberal. Jaringan Islam Liberal yang dipimpinnya adalah sebuah kelompok diskusi yang sering menyuarakan upaya liberalisasi tafsir Islam. Dalam aktivitas di kelompok ini, Ulil menuai banyak simpati sekaligus kritik. Atas usahanya dalam mengusung gagasan pemikiran Islam ini, Ulil disebut sebagai pewaris pembaharu pemikiran Islam setelah Cak Nur (Nurcholish Madjid)-tokoh Islam Liberal Indonesia.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan