[ Petikan dari buku tulisan Imam Samudra (As-Syahid, InsyaAllah) yang berjudul ‘Jika Masih Ada Yang Mempertanyakan Jihadku’ terbitan Kafilah Syuhada, Indonesia 2009. Di dalamnya sarat dengan nash-nash dari Al-Qur’an, Hadith, fatwa-fatwa para ulama seputar permasalahan jihad dan hukum-hukumnya. Buku ini ditulis sebagai bantahan terhadap buku karya Nasir Abbas iaitu salah seorang ‘alumni mujahidin’ yang sudah menyerah diri dan akhirnya dipergunakan, yang berjudul ‘Melawan Pemikiran Aksi Bom Imam Samudra & Noordin M.Top’ terbitan Grafindo, Indonesia]
“Jika ada sekelompok mujahidin yang menyatakan bertanggungjawab atas serangan-serangan terhadap Amerika dan sekutunya, maka para pengaku ahlul ilmi, Islam Moderan dan sejenis mereka yang tidak setuju dengan aksi mujahidin tersebut pun berteriak-teriak bahawa pelaku serangan tersebut hanya mengatas namakan Islam. Cepat-cepat mereka berlepas diri dari semua itu dan menganggapnya sebagai aib yang memalukan, yang mencemarkan Islam dan kaum Muslimin. Tidak hanya itu, mereka pun lantas meratap-ratap bersamaan dengan tercampaknya nyawa-nyawa kaum kafirin yang penuh dosa dan pasti bersalah itu (tidak ada orang kafir yang tidak berdosa dan tidak bersalah, kerana kekafiran atau kesyirikan itu sendiri adalah dosa terbesar).
Tidak cukup sampai di situ, mereka pun segera merengek-rengek agar Amerika dan sekutunya secepat mungkin menangkap para pelakunya, mengadilinya dan menghukum seberat-beratnya.
Lebih dari itu, mereka juga rajin mengenang dan memperingati hari terjadinya mala petaka yang menimpa bangkai-bangkai kafir itu, misalnya pada setiap 11 Sept (tragedy WTC-pen), 12 Okt (tragedy Bali 2002-pen) dan lain sebagainya. Padahal ketika ratusan ribu – kalau tidak mau dibilang jutaan – kaum Muslimin dibantai para penjajah itu, mereka malah asyik nonton Piala Dunia atau asyik menikmati pesta Olimpiade dan lain sebagainya.
Ada pula sebahagian kelompok yang ketika kaum Muslimin disembelih, ditembaki dan dibombardir orang-orang kafir, para Muslimah direnggut kehormatannya, rumah dan tempat tinggal mereka dihancurkan, kebun ladang dan sumber penghidupan mereka dimusnahkan, kelompok yang merasa paling benar sendiri tersebut memfatwakan dan memerintahkan kaum Muslimin lainnya agar bersabar dan menahan diri (sabar menurut kelompok itu: tidak usah bereaksi membalasa kekejaman para penjajah tersebut). Lalu ketika terdapat sekumpulan mujahidin maju menyerbu penjajah dan antek-anteknya (pembantu-pembantu-Pen), segelah Mujahidin itu dicap sebagai orang yang tidak sabar, emosional, menyalahi syariat, bodoh, mati konyol (sia-sia) dan berbagai cap buruk lainnya.
Anehnya, jika yang mengalami penderitaan tersebut adalah kalangan kafir Amerika dan sekutunya, maka kelompok-kelompok di atas tidak menyuruh kafir-kafir itu bersabar. Tidak menganggap pembumihangusan mereka terhadap tanah air kaum Muslimin sebagai perbuatan emosional dan memalukan. Mereka menganggap serangan Amerika ke atas Afghanistan dan Irqa, misalnya, hanyalah reaksi terhadap serangan mujahidin yang mereka sebut sebagai teroris!!”
[ Petikan puisi Imam Samudra ketika berada dalam tahanan di Bali menjelang hukuman tembak ke atasnya bersama Amrozi dan Ali Ghufron@Mukhlas pada 09 Nov 2008. Puisi ini dicatatkan dibukunya yang berjudul ‘Aku Melawan Teroris’ terbitan Jazeera, Solo ]
“tangismu wahai bayi-bayi tanpa kepala,
Dibentur ditembok-tembok Palestina,
Jeritmu wahai bayi-bayi Afghanistan,
Yang memanggil-manggil tanpa lengan,
Dieksekusi bom-bom jahanam milik setan Amerika dan sekutu…
Saat ayah bundamu menjalani Ramadhan! (tahun 2001:pen)
Ini aku, saudaramu…!
Ini aku, datang dengan secuil bombing!
Kan kubalaskan sakit hatimu…
Kan kubalas darah-darahmu…
Darah dengan darah…nyawa dengan nyawa…QISHAS!!!”
Tiada ulasan:
Catat Ulasan