Jumaat, 18 Jun 2010

Isu Militan: Malaysia Belajar Dari Indonesia?

Dicelah-celah kesibukan sebagai seorang mahasiswa di perantauan, saya masih berkesempatan mengikuti perkembangan-perkembangan terkini di tanah air. Antara hal yang saya ikuti adalah isu ugutan terhadap mahasiswa KUIS daripada mendapatkan pinjaman PTPTN gara-gara seorang mahasiswanya terlibat dengan pilihanraya kecil Hulu Selangor, isu tanah KTM di Tanjong Pagar yang diserah dengan begitu mudah kepada Singapura, isu judi bola yang ditukar hukumnya menjadi halal oleh pemerintah BN dan cerita menarik dari Stadium Sultan Muhammad IV, Kota Bharu mengenai ‘pengajaran’ bagi orang-orang yang degil dan tidak kenal tuan rumah.


Dari beberapa isu terkini yang berlaku di bumi One Malaysia tersebut, salah satu yang saya berikan tumpuan secara serius adalah pemberitaan mengenai kemunculan semula ‘gerakan militant’ Jama’ah Islamiah (JI) dengan tertangkapnya 10 individu warga asing yang didakwa sebagai anggota kumpulan berkenaan beberapa hari kelmarin. Perkembangan isu militant atau teroris ini saya amati dengan baik dari harakahdaily, malaysiakini dan beritaharian online.


Hal ini sangat menarik untuk dibicarakan kerana saya berada di bumi Indonesia yang tidak sunyi-sunyi dari khabar aksi teroris, bahaya JI, kejayaan pihak keselamatan membanteras kelompok teroris, pengganas merancang pembunuhan Presiden dan sebagainya. Mungkin di Malaysia, rakyat hanya berpeluang mendengar isu teroris hanya 1 kali dalam tempoh 2-3 tahun, namun uniknya di Indonesia ini, kemunculan gerakan teroris didedahkan oleh pihak keselamatan sampai 2-3 kali bahkan lebih dalam setahun. Bahayanya pergerakan ini diwar-warkan dari semasa ke semasa oleh media sehingga ianya benar-benar berjaya menimbulkan keresahan pada diri setiap warga.


Nama Dr.Azhari (ditembak pada 9 Nov 2005), Imam Samudra, Amrozi dan Ali Ghufron@Mukhlas (ditembak pada 9 Nov 2008), Noordin M.Top (ditembak pada 17 Sept 2009) serta beberapa nama individu yang masih hidup seperti Hambali, Us.Abu Bakar Ba’asyir dan lain-lain digambarkan terus menerus sebagai ‘tulang belakang’ atau otak kegiatan terorisme di Indonesia. Tidak sedikit warga yang menelan pencitraan buruk dan menakutkan tentang mereka ini. Mungkin Indonesia boleh diberikan anugerah sebagai Negara yang sangat bertungkus lumus memerangi keganasan. Tetapi…..isu terorisme yang diberitakan oleh media tidak selamanya diimani oleh warga Indonesia yang bijak pandai. Kejanggalan demi kejanggalan dalam operasi membantera teroris yang diketuai oleh pasukan anti terror Indonesia iaitu Detasemen Khusus 88 (DENSUS 88) Anti Terorisme (unit khusus di bawah Polisi Republik Indonesia) akhirnya terbuka satu demi satu. Saya tidak berhasrat untuk membicarakan kejanggalan-kejanggalan ini secara mendalam. Ia memerlukan tajuk yang khusus. Cukup saya sampaikan secara umum.


Beberapa bulan terakhir ini, pelbagai organisasi Islam di Indonesia mula bangkit mengadakan demonstrasi dan menghantar memorandum kepada lembaga-lembaga hak asasi manusia menuntut agar pasukan DENSUS 88 ini segera dibubarkan. Antara yang terkehadapan adalah Jama’ah Ansarut Tauhid (JAT) pimpinan Us.Abu Bakar Ba’asyir yang sejak sekian lama dituduh sebagai otak utama dalam merancang kegiatan terorisme, namun sampai saat ini tidak dapat dibuktikan. Tanggal 26 Mei lalu, sebuah lembaga para peguam Muslim yang dikenal sebagai Team Pengacara Muslim (TPM) mendatangi pejabat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Jakarta dengan membawa sebuah laporan berisi 14 kejanggalan terhadap misi menangani teroris.


Antaranya termasuklah mempersoalkan mengenai tindakan gila pasukan DENSUS 88 yang sejak akhir-akhir ini (dalam tahun 2010) yang sering melakukan aksi penembakan terhadap individu yang dituduh terlibat dengan teroris. Padahal, jika benar mereka ingin menumpaskan gerakan ini sampai ke akarnya, boleh sahaja mereka menangkap individu tersebut hidup-hidup dengan cara menembak dibahagian yang boleh mencederakan sahaja, namun nyatanya tidak sebegitu. Tahun ini sahaja, lebih 10 orang sudah menjadi mangsa peluru pasukan anti terror ini. Ironisnya, sampai hari ini terdedah bahawa ada individu-individu yang ditembak tersebut belum dapat dipastikan keterkaitannya dengan kegiatan teroris. Namun, nyawa mereka sudah melayang tanpa sempat berbicara untuk mempertahankan diri, bahkan media pula galak melabel mereka sebagai teroris.


Antara kejanggalan lain yang diungkap sendiri oleh para wartawan, ada kalanya pasukan anti terror ini saat melakukan operasi penyerbuan ke tempat-tempat yang disyaki didiami oleh teroris, mereka siap dengan pakaian kalis peluru dan dipenuhi dengan alatan-alatan yang sangat canggih, namun ada masa-masa tertentu yang mereka ini menghadapi teroris dengan gaya yang ‘santai’ sahaja tanpa kelengkapan tersebut. Wartawan tidak dibenarkan masuk ke lokasi. Beberapa waktu kemudian barulah diberi kebenaran oleh pasukan ini dan sebaik masuk, sudah tersedia diatas lantai atau di rak ratusan butir peluru dan beberapa pucuk senjata. Lalu berita penemuan senjata-senjata tersebut dimuatkan secara meluas dimedia.


Baiklah, itu hanya beberapa hal kecil dari kejanggalan-kejanggalan operasi memerangi teroris ini. Belum lagi kita bicarakan bagaimana tekanan demi tekanan yang terpaksa dilalui oleh para tertuduh teroris ini yang kini mendekam dibalik jeruji besi penjara Indonesia. Bagaimana kesulitan demi kesulitan dikenakan ke atas mereka yang ingin mendapatkan khidmat guaman. Belum lagi kita bicarakan bagaimana individu yang hanya memiliki buku-buku karya Imam Samudra, Amrozi, Ali Ghufron, Dr.Abdullah Azzam (Afghanistan ) , Abu Mus’ab Az-Zarqawi (Iraq) dan beberapa tokoh jihad di Timur Tengah pun akhirnya ditangkap atas dakwaan terkait dengan terorisme. Padahal buku-buku sebegini memang banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan dijual secara terbuka. Kebimbangan juga melanda diri saya yang memiliki buku-buk ini. Langsung saya meminta kekanda yang datang ke sini membawa pulang buku-buku tersebut ke tanah air. Jika tidak, itu sudah cukup untuk menjadi barang bukti bahawa saya salah seorang teroris.


Bahkan antara pertanyaan-pertanyaan yang sering diajukan oleh pihak berkuasa kepada para tertuduh ini adalah “apakah pernah bersama jihad di Ambon, Maluku, Poso, Filipina, Afghanistan dan lain-lain”. Jelas! Misi untuk memberi gambaran buruk kepada jihad. Dakwaan yang dikenakan kepada mereka antaranya adalah merancang untuk menegakkan Syariat Islam, menegakkan Daulah Islam dan Khilafah. Wah ! Kalau begitu semua Muslim yang cintakan syariat, daulah dan khalifah bisa saja digelar teroris kesemuanya!


Sebelumnya ingin saya sampaikan bahawa, anda perlu mengetahui, dana yang begitu banyak dan mencurah-curah dari Amerika kepada Indonesia atas nama kerjasama memerangi teroris pasca serangan WTC 2001 itu, bermula di era pemerintahan Megawati Sukarno Putri. Bahkan di zamannyalah diwujudkan undang-undang anti terorisme yang dampaknya puluhan pondok-pondok dan sekolah-sekolah agama diselidiki, apatah lagi jika ada mata pelajarannya berkaitan dengan jihad. Kedua, anda perlu ketahui bahawa pasukan anti terror iaitu DENSUS 88 ini pula muncul pasca serangan ke atas beberapa pusat peranginan di Bali pada tahun 2002 yang mengorbankan sekitar 202 orang yang kebanyakannya warga Australia. Maka, tidak hairanlah apabila idea penubuhan pasukan ini antara lain datang dari Negara Kanggaroo ini. Angka 88 tersebut pun hasil dari jumlah korban warga Australia. Inilah hal yang perlu kita fahami.


Oleh sebab itu, dalam isu militant atau terorisme yang sering dimomokkan di Indonesia, ingin saya katakan bahawa, sebenanrnya jika pemerintah Indonesia serius ingin membanteras kelompok yang didakwa sebagai JI atau Al-Qaeda atau apa sahaja nama yang mereka dakwa ini secara sekaligus, boleh sahaja untuk dilaksanakan. Namun, sepertinya isu terorisme ini ada keuntungan yang boleh diraih darinya. Maka, tidak hairanlah jika dalam setahun hampir 2-3 kali bahkan lebih, isu terorisme mengejutkan warga. Seolah-olah ianya drama yang sudah disusun dengan arahan beberapa pengarah yang terlatih.


Saya katakan ia adalah drama atau sandiwara atas beberapa alasan. Lihatlah, saat Obama merencana untuk berkunjung ke Indonesia beberapa bulan lalu yang akhirnya terpaksa dibatalkan, muncul isu penemuan tempat latihan teroris di Aceh. Padahal pihak keselamatan sendiri mengakui telah mengetahui keberadaan lokasi tersebut lama sebelumnya. Dahulu, Condolize Rice ingin berkunjung ke Indonesia, muncul juga isu teroris. Maka, tidak hairanlah apabila salah seorang mantan anggota parlimen sebuah partai Islam di Indonesia mengatakan “ianya bagi menunjukkan kepada pihak Amerika keseriusan Indonesia membanteras pengganas” kerana mengingat akan banyaknya wang dari Amerik kepada Indonesia dalam misi ini.


Bahkan, yang terkini, Dr.Jose Rizal Jurnalis, Presiden Presidium MER-C Indonesia sendiri ketika mengulas isu penemuan lokasi latihan bersenjata di Aceh beberapa bulan lalu mengatakan bahawa “…jadi peristiwa di Aceh ini direkayasa (rekaan) untuk bargaining position dengan Amerika, termasuk mengalihkan perhatian dari kes Century (kehilangan wang Negara ribuan ringgit di Bank Century yang masih belum selesai dibicarakan sehingga saat ini)”. Isu teroris jugalah yang dilihat sebagai ‘penutup’ agar rakyat dapat dialihkan pandangan dari membicarakan permasalahan yang berlaku di tubuh pasukan polisi Indonesia saat ini yang melibatkan orang-orang berpangkat tinggi mereka atas dakwaan korupsi dan sebagainya yang belum selesai. 2 isu ini masih belum selesai. Demonstrasi mahasiswa hampir setiap hari dilakukan menuntut agar isu ini dituntaskan segera.


Maka, isu militant yang dibangkitkan di Malaysia sehari dua ini tidak jauh beza dengan kondisi yang sedang melanda bumi Indonesia saat ini. Pemerintah Malaysia boleh menutup dan mengalih pandangan rakyat terhadap isu judi bola, tanah KTM, penyerahan 2 blok minyak kepada Brunei, isu liwat, APCO dan lain-lain dengan memunculkan isu militant ini. Namun, rakyat tidak semua bisa dilembukan lagi kecuali yang rela menjadi lembu.


mengenai berita bahawa kerajaan akan memantau 6000 mahasiswa Malaysia di Asia Barat khasnya yang mengikuti pengajian Islam agar tidak terlibat dengan gerakan militan, saya juga ingin menyarankan agar kerajaan Malaysia tidak segan silu memantau bagaimana parahnya akhlak sebahagian mahasiswa Malaysia di luar negara yang hidup dengan penuh kebebasan, bercampur lelaki dan perempuan tanpa pernikahan dan sebagainya. Ini juga bahaya yang sama bahkan lebih parah dari kegiatan militan kerana boleh membunuh generasi demi generasi selanjutnya.



Tiada ulasan: